Dalam satu seminar tentang prasarana yang saya ikuti di ujung tahun lalu, seorang ekonom terkenal Indonesia memaparkan tentang pentingnya infrastruktur listrik bagi perekonomian. Ia mencoba meyakinkan bahwa menaikkan investasi listrik di negeri ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. "Berdasarkan hasil analisis skenario di lembaga kami," katanya, "setiap kenaikan pasokan listrik sebesar 1% akan meningkatkan perekonomian Indonesia sebesar 0.6 persen. Sektor ini harus diprioritaskan pemerintah." Tanpa ceteris paribus, pernyataan ini menyesatkan. Bahkan dengan ceteris paribus pun, pernyataan ini tidak dapat dibenarkan secara serta merta. Ada banyak hal yang menentukan peningkatan ekonomi suatu negara. Banyak faktor lain yang ikut menentukan--dan bukan faktor ekonomi belaka, seperti faktor hukum, faktor keamanan, stabilitas politik, dan lain-lain.
Dalam satu kesempatan lain, seorang ilmuwan senior (dari sebuah lembaga penelitian nasional) yang telat hadir lebih dari 40 menit karena hujan berkata, "Sebetulnya kita tidak perlu memperlambat laju kendaraan kita di waktu hujan, asal saja semua pemilik mobil menjaga kualitas ban mobilnya. Di Amerika, contohnya, para pengendara kendaraan bermotor tidak mengurangi laju kendaraan mereka di waktu hujan." Dari mana ia dapat menarik kesimpulan ini? Generalisasi gegabah biasanya berisi kesalahan berpikir. Faktor ban hanyalah satu penyebab; ada banyak hal yang membuat orang harus memperlambat laju kendaraan di kala hujan.
Ada juga suatu waktu ketika salah seorang gubernur Jakata menyatakan dalam peresmian sebuah lapangan-golf baru bahwa banyaknya jumlah lapangan golf di suatu negara mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Jumlah lapangan golf tidak dapat dipakai sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.
Pakto 88 berisi kebijakan deregulasi perbankan dari pemerintah yang berniat mempermudah pendirian bank-bank di Indonesia. Gagasan utamanya adalah bahwa bank merupakan institusi keuangan yang memfasilitasi transaksi bisnis. Semakin banyak jumlah bank di suatu negara, semakin mudah transaksi bisnis dapat dimungkinkan. Menyusul 'kebijakan' ini, bank-bank baru tumbuh menjamur seperti cendawan di musim hujan. Ketika krisis melanda di pertengahan 1997, imbas terparah terjadi di negeri ini. Hingga sekarang dan di masa depan, kita dan anak cucu kita yang menanggung akibatnya.
Semua contoh yang dikutip di atas memiliki satu kesamaan: semua gagasan yang disampaikan adalah gagasan sesat yang berasal dari proses berpikir yang keliru. Masing-masing subyek setidaknya telah melakukan kekeliruan berpikir atau fallacy (Fallacy merupakan topik utama dengan ulasan cukup lengkap (jika bukan yang terlengkap di Indonesia) di onceuponawe!og-persisnya, di bagian Prometheus. Tulisan ini cuma ingin menunjukkan bahwa kesalahan berpikir dapat terjadi kepada siapa saja. (***)