25.1.05

kerentanan terhadap kekeliruan berpikir

Dalam satu seminar tentang prasarana yang saya ikuti di ujung tahun lalu, seorang ekonom terkenal Indonesia memaparkan tentang pentingnya infrastruktur listrik bagi perekonomian. Ia mencoba meyakinkan bahwa menaikkan investasi listrik di negeri ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. "Berdasarkan hasil analisis skenario di lembaga kami," katanya, "setiap kenaikan pasokan listrik sebesar 1% akan meningkatkan perekonomian Indonesia sebesar 0.6 persen. Sektor ini harus diprioritaskan pemerintah." Tanpa ceteris paribus, pernyataan ini menyesatkan. Bahkan dengan ceteris paribus pun, pernyataan ini tidak dapat dibenarkan secara serta merta. Ada banyak hal yang menentukan peningkatan ekonomi suatu negara. Banyak faktor lain yang ikut menentukan--dan bukan faktor ekonomi belaka, seperti faktor hukum, faktor keamanan, stabilitas politik, dan lain-lain.

Dalam satu kesempatan lain, seorang ilmuwan senior (dari sebuah lembaga penelitian nasional) yang telat hadir lebih dari 40 menit karena hujan berkata, "Sebetulnya kita tidak perlu memperlambat laju kendaraan kita di waktu hujan, asal saja semua pemilik mobil menjaga kualitas ban mobilnya. Di Amerika, contohnya, para pengendara kendaraan bermotor tidak mengurangi laju kendaraan mereka di waktu hujan." Dari mana ia dapat menarik kesimpulan ini? Generalisasi gegabah biasanya berisi kesalahan berpikir. Faktor ban hanyalah satu penyebab; ada banyak hal yang membuat orang harus memperlambat laju kendaraan di kala hujan.

Ada juga suatu waktu ketika salah seorang gubernur Jakata menyatakan dalam peresmian sebuah lapangan-golf baru bahwa banyaknya jumlah lapangan golf di suatu negara mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Jumlah lapangan golf tidak dapat dipakai sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.

Pakto 88 berisi kebijakan deregulasi perbankan dari pemerintah yang berniat mempermudah pendirian bank-bank di Indonesia. Gagasan utamanya adalah bahwa bank merupakan institusi keuangan yang memfasilitasi transaksi bisnis. Semakin banyak jumlah bank di suatu negara, semakin mudah transaksi bisnis dapat dimungkinkan. Menyusul 'kebijakan' ini, bank-bank baru tumbuh menjamur seperti cendawan di musim hujan. Ketika krisis melanda di pertengahan 1997, imbas terparah terjadi di negeri ini. Hingga sekarang dan di masa depan, kita dan anak cucu kita yang menanggung akibatnya.

Semua contoh yang dikutip di atas memiliki satu kesamaan: semua gagasan yang disampaikan adalah gagasan sesat yang berasal dari proses berpikir yang keliru. Masing-masing subyek setidaknya telah melakukan kekeliruan berpikir atau fallacy (Fallacy merupakan topik utama dengan ulasan cukup lengkap (jika bukan yang terlengkap di Indonesia) di onceuponawe!og-persisnya, di bagian Prometheus. Tulisan ini cuma ingin menunjukkan bahwa kesalahan berpikir dapat terjadi kepada siapa saja. (***)

18.1.05

reducing poverty by reducing government

reducing poverty by reducing government (1)

On 28 Oct the National Development Planning Agency (Bappenas) released a 1st draft of national poverty reduction strategy (PRSP). A quick look would tell one that the new format is slightly better than before, when the doc was under the Poverty Committee. Talk about a national blue print that the government is preparing to affect the lives of so many poor in this country! I am still reading it, and am not inclined to comment here.

But last week I read an interesting article written by a prominent economist. The title of this posting is after the very title of his article. Anyone interested in poverty reduction may benefit from reading it.

Now I can't go on without a mention how Indonesia has been undergoing a drastic but silent transformation, until decades from now. Through a largely unnoticed process of big-bang decentralization, Indonesia is fragmenting exacty to the opposite direction. Decentralizing Indonesia cannot stop itself from fragmentation, distributing central authorities first to provincial and then onto district governments. Nobody seems to care about all the consequences that entail.

reducing poverty by reducing government (2)

I am no exponent nor opposant to the idea of decentralization. I believe in both its goodness and badness, in theories at least. Nor do I intend to blog about it. To go back to the economist, Reisman wrote his article in refutation to an "economist" who had written of complains about the low wages of millon working families but offered, according to Reisman, misleading advise. In the refutation, Reisman interestingly echoed the voice of David Henry Thoreau, an early American thinker who believed that the best government is that which governs the least:

Workers, the poor, and the public at large do not yet see the benefits of economic freedom. They have been misled by generations of intellectuals ... to believe that the means of alleviating poverty is the seizure of wealth from the businessmen and capitalists, who use their wealth overwhelmingly precisely in the production of wealth, and who produce less to the extent that they are deprived of the means of producing it. And in much the same way, people have been misled into believing that the means of alleviating poverty is government policies that are nothing more than various forms of prohibiting the production of wealth, or at least prohibiting substantial numbers of people from producing this or that particular form of wealth. Reisman argues that it is economic freedom, not government interference, that is the means of overcoming poverty. However, he says that workers, the poor and the public at large do not yet see the benefits of economic freedom. If they did, they woud:

... rise up in outrage at the injustices foisted upon them [...] not against their usual targets, the businessmen and capitalists, who create the demand for the labor they sell and the supply of the products they buy, and who progressively raise real wages and the general standard of living by introducing ever newer and better products and more efficient methods of producing all products, but against the ignorant, incompetent politicians and intellectuals who have so misled them that moreoften than not they have been duped into positively yearning for the fetters that make them poor. Reisman further argues that it is time for everyone to open his eyes to the knowledge provided by the science of economics and to understand that it is economic freedom, not the government’s violations of economic freedom, that is the way out of poverty and is the foundation of prosperity for all.

On his last point, I suppose Reisman could have clarified what he means with economic freedom. But overall, his interesting observation deserves further critical thoughts.

terpedaya oleh angka

(This is a translated article written by Antony Mueller. Click here to read the original.)

Bank sentral modern menyatakan bahwa tujuan mereka adalah menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Namun, yang mereka kejar sebenarnya bukanlah sesuatu yang nyata melainkan sebuah fantasi statistik. Menurut Ludwig von Mises:

“Ekuivalen dari uang sebagaimana dipakai dalam melakukan tindakan dan dalam perhitungan ekonomi adalah harga-harga uang, seperti nisbah nilai tukar antara uang dan barang atau jasa lain. Harga-harga tidaklah terukur dalam uang; mereka termasuk (consist in) dalam uang itu sendiri.”

dan

“Segala metode yang disarankan untuk mengukur perubahan dalam nilai tukar unit moneter kurang lebih terbangun tanpa disadari di atas gambaran ilusif tentang sesuatu being yang abadi dan mutlak. Melalui penerapan standar absolut, being ini menentukan berapa kuantitas kepuasan yang disampaikan oleh unit uang kepadanya. Bahwa apa yang diinginkan hanyalah mengukur perubahan–perubahan nilai tukar uang adalah justifikasi yang lemah terhadap idea yang keliru ini. Inti dari ide tentang stabilitas itu terletak persis pada konsep nilai tukar yang demikian.” (hal. 221)

“Stabilitas harga” adalah konsep yang menyesatkan dan secara inheren kontradiktif. Bila konsep yang demikian, seperti misalnya dalam indeks harga, dijadikan panduan oleh bank-bank sentral, mereka justru cenderung akan menghasilkan dan meningkatkan instabilitas yang konon akan mereka perangi.

terpedaya oleh angka (2)
(Sambungan)

Apa yang dipublikasikan sebagai “indeks harga konsumen” itu hanyalah bagian dari kekacauan statistik. Siapa saja dapat menyusun indeks semacam itu hampir dalam cara tanpa menyalahi kaidah umum statistik. Perhitungan hedonis ini hanyalah satu contoh. Terlepas dari segala kiat kiat statistik yang diciptakan dan diterapkan, masalah intinya tetap tak tersentuh: apa sih sebenarnya yang diukur oleh “nilai tukar” dan nilai apa sih di dalam uang yang dipakai sebagai dasar perhitungan—selain daripada pertimbangan subyektif dan individualistis?

Seiring dengan [penggunaan] statistik yang terkait dengan angka-angka tentang produksi domestik dan nasional, indeks harga adalah angka statistik yang paling tidak andal, paling menyesatkan dan paling sering diobok-obok. Ini sering terjadi karena memang indeks tersebut menyediakan dasar untuk serangkaian indikator statistik lainnya, juga sebagai deflator dan termasuk sebagai angka pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.

Angka atau besaran makroekonomi semacam itu muncul akibat ilusi bahwa obyek utamanya—“ekonomi” atau “perekonomian”—memiliki ciri dan sifat yang dapat diamati dan diukur secara obyektif. Padahal keterampilan apapun yang diterapkan demi akurasi perhitungan angka-angka tersebut, invaliditas dasarnya tetap tidak dapat disingkirkan, karena ukuran nilai standar yang baku dan tetap tidak mungkin diperoleh.

Upaya untuk mengukur perekonomian seolah sebagai obyek berawal pada perencanaan pemerintah. Memperlakukan perekonomian sebagai satu keseluruhan menjadi keharusan bagi para perencana pusat kaum sosialis dan dalam kondisi peperangan total. Hal ini terlaksana dengan prasumsi bahwa pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan memiliki pengetahuan yang tepat mengenai cara dan tujuan dari tindakan ekonomi. Hasil dari rencana-rencana ini sudah sangat dikenal; tetapi sementara perencanaan perekonomian total tipe-sosialis itu terjadi di balik panggung, bahkan bagi banyak pengikut-sosialisme yang taat, perencanaan moneter secara sentral melalui manipulasi uang, kredit dan nilai tukar masih tergolong tinggi dalam agenda publik. Tentu, perbankan sentral dapat disebut sebagai tempat pelarian terakhir bagi mereka yang masih tersihir oleh pretensi pengetahuan.


terpedaya oleh angka (3)
(Sambungan)

Dengan memusatkan perhatian pada apa yang disebut “stabilitas harga” atau dengan mengikuti skema penargetan inflasi (yang kini sedang menjadi trend), para banker sentral tidak saja mengejar sasaran yang bergerak tetapi juga yang lebih bersifat simbolis daripada riil. Dengan cara ini mereka mengabaikan inflasi yang terjadi dalam ekspansi uang dan utang.

Para bank sentral secara teoritis memang memiliki instrumen paling tidak untuk mengontrol uang dasar; namun mereka jarang bersedia membayar harga dari sebuah kontraksi; alih-alih, mereka lebih menyukai ekspansi permanen yang ilusif. Mereka bertindak seperti penganjur pemakaian obat-obatan murah kepada publik yang lugu dengan perantaraan sektor perbankan. Hampir tidak ada bank sentral yang tidak terjangkiti penyakit semacam ini, yang memang inheren bagi sebuah sistem perbankan dengan cadangan fraksional tanpa pengaman.

Sebagaimana halnya dengan harga barang/jasa secara individual, harga kelompok barang dan jasa juga bergejolak naik-turun. Selalu ada titik inflasif atau deflasif dalam tiap perekonomian pada saat yang sama. Ketika pergerakan harga agregat kecil berlangsung, atau ketika kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan terjadi, indeks harga tidak memberi sinyal yang berarti. Tetapi bila ada kecenderungan pergerakan kuat ke salah satu arah tentang tingkat harga secara umum, dan bila hal ini akhirnya tercermin dalam indeks harga, biasanya bank sentral terlambat bertindak.

Nilai indeks harga harus berupa rerata dari semua nilai ekstrim. Indeks harga tidak mampu memberi sinyal tentang pergerakan-harga yang lebih halus dan indeks juga mengabaikan hal-hal lain yang relevan, seperti harga-harga aset. Dengan demikian, yang terpedaya bukan saja masyarakat umum, melainkan juga para bank sentral yang menjadi korban kalkulasi mereka sendiri, ibarat lelucon tentang ahli statistik yang mati tenggelam ketika menyeberangi air yang dia anggap mudah dilalui berdasarkan rata-rata aritmatik tentang kedalaman air tersebut.

Akhir-akhir ini, misalnya, nilai depresiasi dari dolar sudah terlihat dalam harga-harga minyak, real estate, logal mulia, jasa domestik, layanan kesehatan, tuition atau bahkan jika dihitung terhadap uang fiat lainnya, seperti Euro. Dalam perspektif ini, maka inflasi sedang berlangsung dan dia telah berjalan sekian lama pada tingkat yang besar. Namun bila menghitung dalam porsi besar dari kapasitas penyimpanan komputer dan peralatan yang diimpor, gambarannya berubah dan perspektif tentang kecenderungan deflasif dapat saja didiagnosis dengan tolok ukur tersebut.

Tipuan besar dari para penjaga stabilisasi terletak pada penyebaran ilusi bahwa indeks harga yang stabil atau meningkat perlahan akan mengimplikasikan stabilitas perekonomian dan tidak berakibat apa-apa pada struktur permodalan. Tindakan berupa kebijakan moneter yang dipublikasikan di bawah judul stabilisasi juga tidak mengimplikasikan loyalitas dari daya beli. Tindakan-tindakan semacam itu lebih berarti bahwa distorsi lama sudah berhasil ditutup dan distorsi baru sedang diciptakan.

Sukses sementara, seperti juga pembelanjaan defisit, membuat bank sentral lebih berbahaya. Bank sentral modern adalah usaha yang mengerikan. Dimensi sejati dari kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh kebijakan uang longgar hanya terlihat jelas dalam jangka panjang ketika inflasi mulai menjadi liar dan dengan demikian hanya bisa dihentikan dengan kontraksi deflasif.

Belum lama ini para bank sentral kembali gagal mengenali atau tetap berlaku pasif ketika berhadapan dengan banjirnya likuiditas. Membanjiri dunia dengan utang dalam bentuk uang, tidak dapat tidak, berarti menyetir sistem ke suatu jalan di mana alternatif-alternatifnya (berupa percepatan inflasi atau justru deflasi) menjadi kian mendesak. Ketika para aktor perekonomian akhirnya membentuk pengharapan yang dominan, sebuah spiral dari proses feedback pun dimulai, dan aksi selanjutnya akan diadaptasikan sesuai dengan arah tersebut. Ini adalah titik di mana permainan telah menjadi lepas dari kendali para penjaga stabilitas; dan hiperinflasi serta depresi pun mengancam.

17.1.05

Abouts

My name is Nad, aka Tjipoetat Quill, or TQ for short. I am an Indonesian living in Ciputat, a small hilly town that borders with and used to be part of South of Jakarta, the capital city of Indonesia, or a country where Bali is.

A researcher by profession, I consider myself an independent thinker, unaffiliated with any political party whatsoever. I view blogging as act of liberating--myself mostly, perhaps also others along the way.

Thank you for visiting this blog. Please leave intelligent comments--they'll make my day.

15.1.05

potensi bencana di depan mata

Di balik solidaritas yang mencengangkan dari dalam dan luar negeri menyusul malapetaka yang melanda sekurangnya 13 negara Asia dan Afrika, ada bahaya mengintai yang sangat mungkin tengah dimulai. Yang akan menjadi korban bukan cuma para korban bencana yang berhasil selamat atau diselamatkan, melainkan juga masyarakat dunia yang telah memberi bantuannya dalam berbagai cara. Bahaya ini berpotensi menjadi bencana baru terhadap manusia dan kemanusiaannya. Sejak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami dua minggu lalu, ulasan di media mengenai hal ini belum memadai dan proporsional. Tulisan singkat ini mencoba mengantarkan pembaca ke wacana tersebut.

Moral Hazards

Masyarakat dunia termasuk rakyat Indonesia hingga detik ini layaknya berlomba berduyun menyisihkan rejeki atau menyingsing lengan baju guna membantu meringankan penderitaan para korban. Beberapa relawan bahkan kehilangan nyawa (seperti yang terjadi di Singapura). Sementara, sejumlah orang justru mengambil keuntungan pribadi atas hak para korban.

Memang, satu jenis bahaya yang mengancam adalah moral hazards dari sebagian mereka yang terlibat dalam mata rantai proses derma, dari tahap pengumpulan hingga distribusinya. Satu bentuk moral hazards di sini adalah korupsi, baik oleh petugas birokrasi pengelola bantuan di tingkat pemerintahan maupun partikelir.

Tentu, sebagian derma ini pasti akan sampai, mengingat besarnya jumlah yang terkumpul; kejahatan korupsi memang tidak bermaksud menyikat habis rejeki yang bukan hak pelakunya.

Sejauh pendekatannya masih "bagaimana nanti saja", tanpa rancangan skema intervensi yang baik, sistematis, dapat diterapkan, serta benar-benar diimplementasikan secara saksama, maka masyarakat yang sudah sangat terbatas kemampuannya, tidak akan dapat memastikan 'keamanan' distribusi. Sebagian besar dari mereka hanya akan memasrahkan hal ini kepada hati nurani pekerja dan 'petugas' yang terlibat dalam pengelolaan derma.

Di tanah-tanah yang subur akan korupsi, sulit diingkari potensi bahaya ini. Di tempat-tempat semacam itu, menyerahkan mutlak perkara kredibilitas dan transparansi kepada hati nurani penyelenggara bantuan sama saja membiarkan diri menimbun frustrasi kolektif. Emosi negatif masyarakat pada akhirnya dapat mengancam semangat kemanusiaan itu sendiri.

Dalam konteks pengumpulan dana tunai di Indonesia, inisiatif beberapa media massa tampaknya relatif lebih transparan dan menjanjikan untuk dapat dipertanggungjawab-kan. Inisiatif kemanusiaan mereka rata-rata telah disandingkan dengan mekanisme pelaporan inheren yang cukup terbuka, dengan pelaporan tertulis di media cetak dan TV tersebut.

Meskidemikian, keteladanan semacam ini perlu ditingkatkan dan pemantauannya perlu diperkuat, mengingat agregat dana masyarakat yang terkumpul sangat besar tanpa ada satu pihak penjamin atas ketersampaiannya.

Yang sesegera mungkin harus diciptakan adalah mekanisme pemantauan eksternal yang transparan dan preventif sifatnya dengan melibatkan unsur-unsur pemerintah, perbankan, pihak profesional, dan civil society.

***

Hingga kini belum ada tim atau organisasi pemerintah maupun swasta yang mengomandoi atau membentuk Tim pemantau; padahal pemantauan bantuan adalah suatu pekerjaan yang sama mulianya dengan menjadi relawan. Tindakan ini dapat diartikan sebagai bentuk pemberian bantuan itu sendiri.

Kebutuhan akan pemantauan yang andal dan dapat diakses siapa saja sangatlah mendesak untuk dipuaskan, apalagi mengingat pemerintah melalui pemimpin tertinggi kita telah memberi jaminannya (yang seharusnya tidak terbatas untuk pinjaman luar negeri saja).

Mendesaknya hal ini juga atas pertimbangan faktor manusiawi berupa pelupaan horisontal--meminjam istilah Yasraf Piliang, akibat singkatnya rentang perhatian kita pada umumnya sebelum kembali kepada rutinitas dan "banalitas sehari-hari."

Ill-Conceived Planning

Ancaman lain dapat berasal dari niat baik kemanusiaan untuk membantu tetapi berbekalkan perencanaan yang buruk (ill conceived planning), demikian menurut pionir bantuan kemanusiaan almarahum Fred Cuny, sebagaimana dikutip dalam edisi terkini The Economist. Kamp-kamp pengungsi misalnya, tulis Cuny, adalah bentuk bantuan yang mungkin memudahkan bagi para penyedia bantuan, tetapi dapat berakibat sangat buruk bagi para korban.

Tempat penampungan memisahkan para korban dari komunitas asali yang sesungguhnya paling memahami dan paling dapat memberi mereka dukungan. Belum lagi risiko tertularnya para korban oleh berbagai penyakit menular. (Keputusan Departemen Sosial Indonesia yang melarang adopsi secara gegabah anak-anak Aceh, adalah contoh kebijakan pemerintah yang baik dan patut dipuji.)

Demikian pula halnya dengan pemberian bantuan berupa makanan, yang hanya efektif dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, subsidi yang terus menerus akan merusak tatanan perekonomian masyarakat. Para nelayan, misalnya, terancam akan kehilangan usaha jika ia "keluar" terlalu lama dari pasar secara berkelamaan. Bencana ketergantungan semacam ini bukan semata teoretis, melainkan fakta empiris yang acap terjadi di wilayah krisis, seperti yang terjadi dalam kasus Micronesia (David Osterfeld, Prosperity vs. Planning, p. 146).

Kita sering diingatkan bahwa dalam kebanyakan malapetaka, koordinasi dan informasi merupakan hal yang langka. Akibatnya, duplikasi pekerjaan akan gampang terjadi. Juga, ketakutan yang berlebihan dan mengada-ada, misalnya mitos bahwa bangkai manusia adalah penyebab utama penyakit, dapat membuang waktu yang amat berharga sehingga kebutuhan 'remeh' tapi mendesak, seperti perbaikan klinik atau pembangunan jamban, menjadi tertunda. (The Economist; 'Now Spend it sensibly').

***

Satu sisi bantuan luar negeri

Pemandangan sekilas tentang bantuan luar negeri (BL) segera mengantarkan kita pada bahaya lain. Dengan sifatnya yang khas, misalnya agregat nilainya yang besar, BL memiliki sisi destruktif jika dikelola secara amatiran. Hingga kemarin, total angka sementara bagi niat (baca: pledges) keuangan dari negara-negara donor bagi negara-negara korban tsunami telah mencapai angka yang mencengangkan: US$4 miliar. Namun, sebagian besar dari niat tadi ditujukan untuk rekonstruksi jangka panjang-atau jangka menengah dalam istilah perencanaan Bappenas.

Pertanyaan dari para pederma internasional, yang seyogyanya telah belajar dari kesalahan masa lalu dalam hal pemberian BL, akan segera berubah dari "How much aid is needed? menjadi "How well is it spent?"Tersirat disini kondisionalitas yang harus dipenuhi pemerintah negara penerima bantuan.

Kecepatan dalam mengutarakan niat baik ini tidak berbanding lurus dengan dengan kecepatan dalam hal pencairan dana BL. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa BL tidak cair seketika, melainkan harus melalui gang-gang birokrasi yang sempit, gelap dan licin. Sementara keputusan final dari pemberi dana sangat mungkin akan didasari pada kejelasan dan transparansi program yang masih harus diajukan pemerintah negara korban bencana.

Dalam beberapa pertemuan termasuk dalam pertemuan puncak yang dihadiri para pemimpin ASEAN dan beberapa negara lain, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, telah memberikan beberapa pernyataan kunci.

Pertama, beliau menyerukan perlunya menjajaki negara yang dipimpinnya untuk memperoleh berbagai bentuk keringanan utang (moratorium, debt reduction, swap, dan writeoff); kedua, beliau memberi jaminan bahwa semua BL kepada bangsanaya akan disalurkan secara transparan, dan ia akan memimpin sendiri tim khusus untuk ini.

Mengenai peluang keringanan utang, beberapa anggota parlemen dan LSM di Indonesia mendorong pemerintahnya untuk segera menyambut tawaran moratorium utang dari beberapa donor (Jerman, Inggris, Italia, Perancis dan lainnya), dan tidak mengadakan utang baru. Logika ini dapat dimengerti; idealnya, pemerintah menerima hibah uang maupun barang sebanyak mungkin. MPR sejak tahun 2002 telah mengamanatkan negara ini untuk mengurangi utang secara bertahap; Badan Perencana Nasional (Bappenas) juga telah komitmen untuk menunaikan amanat ini.

Dalam hal penjaminan penggunaan BL, pernyataan politis yang normatif seorang Presiden akan terus mengawang jika tidak segera dikonkretkan dalam bentuk kebijakan teknis. Pemerintah Indonesia perlu melibatkan unsur non pemerintah. Meskipun hal ini terlihat atau dianggap sepele, pemerintah tetap tidak akan efektif melakukannya sendirian, karena pemerintah baru ini menanggung begitu banyak urusan 'sepele' lainnya.

Keringanan Utang

Paskah Suzetta, ketua Komisi XI parlemen Indonesia, dan Mulia Nasution, Dirjen Perbendaharaan di Kementerian Keuangan, dalam sebuah program TV lokal beberapa hari lalu menyatakan bahwa seharusnya semua penyaluran BL berada dalam kerangka program yang jelas dan harus melalui pemerintah pusat.

Semua pandangan tersebut tentu dilandasi niat baik tentunya: agar transparansi, keterpaduannya dan efektifitasnya terjaga. Tetapi dalam pernyataan semacam terdapat unsur fallacy (kekeliruan berpikir) ekonomis, yang meniscayakan bahwa negara tahu semua apa yang terbaik bagi rakyatnya.

Kembali terkait dengan korupsi, yang skalanya dapat menjadi sangat besar untuk urusan dana BL, masalah ini bukan satu-satunya dalam kaitannya dengan pemberian bantuan luar negeri. Ada berbagai risiko lain.

Pertama, sebagaimana dinyatakan oleh Bauer dalam bukunya the Development Frontier (1991), BL itu bukanlah suatu 'bantuan' per se melainkan transfer atau subsidi yang pada umumnya tidak ditujukan kepada para korban yang telah mengalami pemiskinan mendadak, melainkan kepada pemerintah suatu negara.

Efek Dominan

Kedua, efek dominan dari BL adalah kecenderungannya yang nyaris niscaya dalam memperbesar "ukuran" dan "cakupan" negara, dan yang berpotensi mencederai kemakmuran dan kebebasan rakyatnya (dalam konteks Indonesia, kebebasan dalam hal menentukan apa yang terbaik bagi rakyat Aceh, misalnya).

Yang lebih buruk, peningkatan kemampuan pemerintah yang mendadak ini dapat menuju kepada sentralisasi kekuatan pemerintah, karena transfer BL ini selalu ditujukan kepada pemerintah pusat. Bagi Daerah Istimewa NAD, otonomi dengan sendirinya sudah terlucuti dan ketergantungan kepada pusat hanya akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang.

Maka mengingat tingginya kemungkinan bencana di atas, apabila pemerintah negara korban bencana tidak menyikapi, merencanakan dan bertindak secara bijaksana dan bertanggungjawab, tidak mustahil para rakyatnya suatu hari akan melihat berkah bantuan yang luar biasa ini sebagai 'bencana" dahsyat terselubung yang justru kian menyengsarakan rakyatnya.

your almost famous quotes

Distinguished bloggers and bystanders,

Do you have your own quotations, epigrams, oneliners, personal maxims, mottos, poems, or bumper-sticker 'wisdoms' on any subject matter? Would you care to share your masterpieces to the world? ... (More)
2/18/2005
Edit

Your Almost Famous Quotes
nad View Delete


Distinguished bloggers and bystanders,

Do you have your own quotations, epigrams, oneliners, personal maxims, mottos, poems, or bumper-sticker 'wisdoms' on any subject matter? Would you care to share your masterpieces to the world?

There's this simple but workable plan: when the total number of these almost famous quotes reaches 2006 1000 (!), I intend to get them published in Indonesia as a book--tentatively titled "Almost Famous Quotes". (If this quota's unmet, whoah, at least they will enrich this weblog, together with all the comments.)

For this purpose I require that your works be original and have never been published before. They can be in ENGLISH or INDONESIAN; just don't mix them.

You can easily submit your works by emailing me, or through the commenting system below this post. All you have to do next is sit back and unwind. Allow some time--or days, depending on my availability;-), before your works get displayed in this weblog, asap.

Your contribution will be greatly appreciated. All your works will be duely acknowledged. As for royalty: 1) hold your horses there, and; 2) stop wishful thinking.

Thanks very much! Peace and warm regards,

nad at onceuponaweb!og
contact: nadhays (at) hotpop (dot) com

*********************************************
Quotations Received To Date

Quote reference #: 0001 Writer: Kaxah
Email - retained. Date: 07.01.2005 Time - 14:28
OK, Nad, since you insist, here's a piece of wisdom.
Seriously, though, don't take it too seriously!

"Of all the weblogs to which I have paid a visit so far,
ONCEUPONAWEBLOG is really, truly, honestly...one of them."

----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0002 Writer: Imma
Email - retained. Date: 16.01.2005 Time - 14:47

"If you sit and blog long enough the whole world will come to you."
----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0003 Writer: Zairin
Email - retained. Date: 18.01.2005 Time - 23:57

"Sing waras Ngalah yo."

----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0004 Writer: Nad
Email - retained. Date: 19.01.2005 Time - 09:17

"The limits of my blogs are the limits of my world."

----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0005 Writer: Nad
Email - retained. Date: 19.01.2005 Time - 09:17

"I blog therefore I'm broke."

----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0006 Writer: Nad
Email - retained. Date: 19.01.2005 Time - 09:18

"Some people's blogs are a waste of some other people's time."

----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0007 Writer: Nad
Email - retained. Date: 19.01.2005 Time - 09:21

"Should to you nothing be flower I may be offering a lot of roses here."
----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0008 Writer: Nad
Email - retained. Date: 19.01.2005 Time - 09:37

"Blogs do clog."

----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0009 Writer: Nad
Email - retained. Date: 19.01.2005 Time - 09:40

"If you can read this blog post, get another life."

----------------------------------------------------------------
Quote reference #: 0010 Writer: ???

Join the fun by submitting your works!

10.1.05

'the acehs inside us'

At one extreme, the question popped by the perplexed pious might be: What did we do, dear God, to deserve this kind of punishment? At the other, it might be Voltarian: Could there be a God capable of doing that? Which side are we on? Did we manage pacifying answers to the quest? A number of western papers that came to me recently highlighted such "eternal" issues, if not satisfactorily, but this stimulating article, Aceh dalam Diri Kita, or The Acehs Inside Us, written in Indonesian by a fine Indonesian poet, while offering an original angle to view the Tragedies and many other disasters, provided readers with comments on the existential questions. His major concern, however, is on the civilization fallacy.

7.1.05

korupsi: bukti besar kegagalan...

Yg terpikir beberapa menit lalu adalah berbagai kemungkinan hazards sehubungan dengan penyaluran dan bantuan kepada korban-korban bencana.
Pikiran ini membawa kepada topik korupsi, lalu merembet ke pengajaran agama...

Kebanyakan manusia beriman setuju bahwa satu fungsi terpenting agama adalah untuk mengajarkan kebaikan umat manusia dalam hidup bersosialisasi di dunia dan dalam persiapan pribadi menyongsong hari kemudian. Semua agama, yang berdasarkan wahyu dan yang tidak, mengajarkan umat masing-masing untuk berakhlak baik, berbudi luhur, penuh cinta kasih kepada sesama.

Misi agama memanglah universal, walau penerapannya dapat berbeda di berbagai penjuru dunia. Untuk tujuan penulisan artikel singkat ini, mari ambil satu contoh yang berlaku universal: korupsi, yang bagi kita sesama warga Indonesia, definisinya tak diperlukan lagi.

Di manapun kita berada di alam fana ini, tidak ada tempat yang membenarkan praktik korupsi. Di sisi lain, tidak ada satu negara pun di dunia yang benar-benar bersih dari perkara ini. Tidak di Indonesia, tidak pula di Nusantara. Praktik korupsi di suatu negara memang tidak tepat diklasifikan dalam oposisi biner (ada atau tidak ada), melainkan harus dilihat dalam spektrum 'pengejewantahannya' dalam kehidupan sehari-hari.

Indeks terkini hasil kajian Transparency International di akhir tahun lalu enempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Kita maklum, tetapi merasa perlu untuk merasa kaget; dan kita agak paham, kita harus pura-pura kaget. Secara matematis, mengingat Indonesia paling padat penduduknya, dapat dipastikan bahwa secara kuantitatif jumlah koruptor terbanyak di dunia dalam suatu negara ternyata justru menghirup udara kebebasan di negeri ini.

Dimensi tersensitif dan 'termenegangkan' serta merupakan pati dari posting ini mulai terlihat tatkala kita mengaitkan kebejatan akhlak ini dengan fakta: bahwa tanah air kita adalah negara berketuhanan yang maha esa. Negeri indah yang para warganya sejak di sekolah TK hingga PT para warga telah dibekali pelajaran agama. Dari sini banyak yang kemudian dapat dan perlu dipertanyakan di sini. Jika tidak diusik sekarang, cepat atau lambat pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan agak metafisis ini pasti akan muncul.

Dua di antaranya adalah:
1) Kalau begitu, apa agama telah gagal?;
2) Apa pengajarannya yang gagal?

Silakan menjawab yang pertama; coretan pendek ini cuma membahas (atau lebih tepatnya, menyinggung) yang kedua, secara singkat, padat dan sintal saja.

Untuk itu maka dengan ini dapatlah saya hipotesiskan (tanpa riset yang didukung oleh institusi manapun) sebuah proposisi berupa kalimat pendek afirmatif dengan satu-kata saja: “Ya”. Pengajaran agama di Indonesia telah gatot! Gagal total!

Pengajaran agama di Indonesia cenderung mementingkan pengajaran agama secara formal tanpa “ruh”, yang pada akhirnya cuma mampu mengajarkan dan meneladani kesalihan formal.

Pembekalan agama di negeri ini mengajarkan akhlak secara psikologis berdasarkan instilasi rasa takut kepada azab Tuhan (misalnya, siksa api neraka); mengajarkan perilaku ‘salih’ secara ekonomis berdasarkan untung rugi (tidak mau masuk neraka, mengejar setoran, eh, pahala, dan sebagainya); berdasarkan melulu kepada dogma-dogma tanpa keinginan mempelajari konteksnya apalagi mencari pembandingnya, ataupun memberi ruang secuilpun untuk interpretasi kritis.

Maka, sebagian dari kita menelan bulat-bulat ajaran agama secara membabi buta, sebagian lagi masuk ke jurang fundamentalisme tanpa berpikir kritis, sebagian lagi menggunakan terperangkap dalam kesesatan berpikir sehingga merasionalisasikan ajaran (wahyu atau hadis) untuk mengelabui sesama atau bahkan Tuhannya sendiri.

Lho, kemana perginya perkara korupsi tadi?

Sudah hampir jam 2 pagi; saya harus berhenti di sini.

5.1.05

150,000

Donate to Tsunami Relief. Now. "If you have difficulty to imagine 150,000 dead victims, here's a pointer: What does 150,000 look like?
All the information on how to make the donation is available on this site. Start with the radio-button on the left sidebar.

(With thanks to folks at http://indonesiahelp.blogspot.com)

4.1.05

more news extracts

94,100 Death Toll, 400,000 refugees
Official death toll has risen slightly to 94,100, with 387,607 people listed as refugees, the health ministry said Tuesday.

Annan off to Asia
UN Secretary General Kofi Annan on Monday headed to Indonesia to visit, meet regional leaders and bring a "message of hope" to millions affected by the Asian tsunami disaster.

UN to set up relief coordination center for tsunami victims in Singapore
The UN will establish a coordination center in Singapore to help victims, the city-state's Ministry of Foreign Affairs said on Tuesday.
UN food agency says it has delivered enough food for 100,000 in Aceh

UN FAO said on Monday its aid efforts for victims in Aceh were accelerating, with enough food and water delivered to the remote region to feed more than 100,000 people for a week. The UN FAO said it had delivered 318 tons (351 U.S. tons) of rice, noodles and biscuits and 40,000 liters (10,567 gallons) of water to Aceh.

Debt Rescheduling
The government wants to reschedule debts with foreign donors to finance reconstruction of Aceh and North Sumatra. The country is facing a projected widening state-budget deficit from the calamity. "I am optimistic that we can reach an agreement for debt rescheduling outside of the IMF (International Monetary Fund) legal frame as this is for humanitarian aims," Minister of Finance Yusuf Anwar said on Monday.

The IMF is considering granting Indonesia debt relief to help cushion the massive financial impact of the calamity. The offer came after Italy, Germany and the U.S. indicated their willingness to consider offering debt relief to tragedy-hit countries, including Indonesia. The rescheduling is expected to be proposed without the IMF as an umbrella and assistance to the deal, since Indonesia is no longer under the IMF program.

Jakarta to hold International relief summit
Indonesia is preparing for an emergency summit of the ASEAN leaders and other nations to help coordinate relief efforts; it will be in Jakarta, Thursday. Presidential spokesman Dino Pati Djalal said confirmed attendants were: UN Secretary-General Kofi Annan; Malaysian PM Abdullah Ahmad Badawi; Singapore PM Lee Hsien Loong, Philippine President Gloria Arroyo; Brunei Sultan Hassanal Bolkiah, Chinese PM Wen Jiabao; New Zealand PM Helen Clark; South Korean PM Lee Hae-chan; Japanese PM Junichiro Koizumi; and Australian PM John Howard. Annan will be accompanied by World Bank President James D. Wolfensohn.

U.S. Secretary of State Colin Powell, already in Thailand now, will visit Jakarta on Tuesday on a 3-day visit, though it’s unclear if he will be at the summit. He is scheduled to visit Aceh along with the U.S. special envoy Jeb Bush.

The European Union Delegation of the European Commission to Indonesia said in Jakarta on Monday that the European Commissioner for Development and Humanitarian Assistance Louis Michel would arrive in Jakarta on Tuesday.

Souce: The Jakarta Post (unless otherwise stated).

3.1.05

news extracts on tsunami calamity

• Latest number of tsunami victims in 13 countries as of Jan. 2 is 127,672.
In Indonesia, at least 79,940 were killed; in Sri Lanka, 29,744; India, 14,488; Thailand, 5,000 (almost half of them tourists); Myanmar, 90; Maldives, 80; Malaysia, 66; Bangladesh, 2; East Africa (Somalia, Tanzania, Kenya, Seycheless and Madagascar), 143.
• Actual total figure may be forever shrouded in mistery , but UN has estimated it to be at least 150,000 and Kofi Annan says 5-10 years is needed for restoration.
• In Indonesia and Sri Lanka, local conditions and weather made rescue efforts more difficult.
• On Day 8, total worth of material loss in Indonesia remains to be revealed.
• Medical support severly lacking, plague and famine are imminent.
• Hundreds of refugees in Blang Mangat, Aceh, ran away from camp tents due to lack of clean water.
• Offices in Banda Aceh remain paralyzed.
• World sympaties keep pouring in. The Germans are considering debt relief for Indonesia. Japan is said to extend a max of 500 million US$ to disaster affected ASEAN countries. US troops sent food and medical aid. (Source: News articles in Kompas today.)