Yg terpikir beberapa menit lalu adalah berbagai kemungkinan hazards sehubungan dengan penyaluran dan bantuan kepada korban-korban bencana.
Pikiran ini membawa kepada topik korupsi, lalu merembet ke pengajaran agama...
Kebanyakan manusia beriman setuju bahwa satu fungsi terpenting agama adalah untuk mengajarkan kebaikan umat manusia dalam hidup bersosialisasi di dunia dan dalam persiapan pribadi menyongsong hari kemudian. Semua agama, yang berdasarkan wahyu dan yang tidak, mengajarkan umat masing-masing untuk berakhlak baik, berbudi luhur, penuh cinta kasih kepada sesama.
Misi agama memanglah universal, walau penerapannya dapat berbeda di berbagai penjuru dunia. Untuk tujuan penulisan artikel singkat ini, mari ambil satu contoh yang berlaku universal: korupsi, yang bagi kita sesama warga Indonesia, definisinya tak diperlukan lagi.
Di manapun kita berada di alam fana ini, tidak ada tempat yang membenarkan praktik korupsi. Di sisi lain, tidak ada satu negara pun di dunia yang benar-benar bersih dari perkara ini. Tidak di Indonesia, tidak pula di Nusantara. Praktik korupsi di suatu negara memang tidak tepat diklasifikan dalam oposisi biner (ada atau tidak ada), melainkan harus dilihat dalam spektrum 'pengejewantahannya' dalam kehidupan sehari-hari.
Indeks terkini hasil kajian Transparency International di akhir tahun lalu enempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Kita maklum, tetapi merasa perlu untuk merasa kaget; dan kita agak paham, kita harus pura-pura kaget. Secara matematis, mengingat Indonesia paling padat penduduknya, dapat dipastikan bahwa secara kuantitatif jumlah koruptor terbanyak di dunia dalam suatu negara ternyata justru menghirup udara kebebasan di negeri ini.
Dimensi tersensitif dan 'termenegangkan' serta merupakan pati dari posting ini mulai terlihat tatkala kita mengaitkan kebejatan akhlak ini dengan fakta: bahwa tanah air kita adalah negara berketuhanan yang maha esa. Negeri indah yang para warganya sejak di sekolah TK hingga PT para warga telah dibekali pelajaran agama. Dari sini banyak yang kemudian dapat dan perlu dipertanyakan di sini. Jika tidak diusik sekarang, cepat atau lambat pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan agak metafisis ini pasti akan muncul.
Dua di antaranya adalah:
1) Kalau begitu, apa agama telah gagal?;
2) Apa pengajarannya yang gagal?
Silakan menjawab yang pertama; coretan pendek ini cuma membahas (atau lebih tepatnya, menyinggung) yang kedua, secara singkat, padat dan sintal saja.
Untuk itu maka dengan ini dapatlah saya hipotesiskan (tanpa riset yang didukung oleh institusi manapun) sebuah proposisi berupa kalimat pendek afirmatif dengan satu-kata saja: “Yaâ€Â. Pengajaran agama di Indonesia telah gatot! Gagal total!
Pengajaran agama di Indonesia cenderung mementingkan pengajaran agama secara formal tanpa “ruhâ€Â, yang pada akhirnya cuma mampu mengajarkan dan meneladani kesalihan formal.
Pembekalan agama di negeri ini mengajarkan akhlak secara psikologis berdasarkan instilasi rasa takut kepada azab Tuhan (misalnya, siksa api neraka); mengajarkan perilaku â€Âsalih’ secara ekonomis berdasarkan untung rugi (tidak mau masuk neraka, mengejar setoran, eh, pahala, dan sebagainya); berdasarkan melulu kepada dogma-dogma tanpa keinginan mempelajari konteksnya apalagi mencari pembandingnya, ataupun memberi ruang secuilpun untuk interpretasi kritis.
Maka, sebagian dari kita menelan bulat-bulat ajaran agama secara membabi buta, sebagian lagi masuk ke jurang fundamentalisme tanpa berpikir kritis, sebagian lagi menggunakan terperangkap dalam kesesatan berpikir sehingga merasionalisasikan ajaran (wahyu atau hadis) untuk mengelabui sesama atau bahkan Tuhannya sendiri.
Lho, kemana perginya perkara korupsi tadi?
Sudah hampir jam 2 pagi; saya harus berhenti di sini.