18.1.05

terpedaya oleh angka

(This is a translated article written by Antony Mueller. Click here to read the original.)

Bank sentral modern menyatakan bahwa tujuan mereka adalah menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Namun, yang mereka kejar sebenarnya bukanlah sesuatu yang nyata melainkan sebuah fantasi statistik. Menurut Ludwig von Mises:

“Ekuivalen dari uang sebagaimana dipakai dalam melakukan tindakan dan dalam perhitungan ekonomi adalah harga-harga uang, seperti nisbah nilai tukar antara uang dan barang atau jasa lain. Harga-harga tidaklah terukur dalam uang; mereka termasuk (consist in) dalam uang itu sendiri.”

dan

“Segala metode yang disarankan untuk mengukur perubahan dalam nilai tukar unit moneter kurang lebih terbangun tanpa disadari di atas gambaran ilusif tentang sesuatu being yang abadi dan mutlak. Melalui penerapan standar absolut, being ini menentukan berapa kuantitas kepuasan yang disampaikan oleh unit uang kepadanya. Bahwa apa yang diinginkan hanyalah mengukur perubahan–perubahan nilai tukar uang adalah justifikasi yang lemah terhadap idea yang keliru ini. Inti dari ide tentang stabilitas itu terletak persis pada konsep nilai tukar yang demikian.” (hal. 221)

“Stabilitas harga” adalah konsep yang menyesatkan dan secara inheren kontradiktif. Bila konsep yang demikian, seperti misalnya dalam indeks harga, dijadikan panduan oleh bank-bank sentral, mereka justru cenderung akan menghasilkan dan meningkatkan instabilitas yang konon akan mereka perangi.

terpedaya oleh angka (2)
(Sambungan)

Apa yang dipublikasikan sebagai “indeks harga konsumen” itu hanyalah bagian dari kekacauan statistik. Siapa saja dapat menyusun indeks semacam itu hampir dalam cara tanpa menyalahi kaidah umum statistik. Perhitungan hedonis ini hanyalah satu contoh. Terlepas dari segala kiat kiat statistik yang diciptakan dan diterapkan, masalah intinya tetap tak tersentuh: apa sih sebenarnya yang diukur oleh “nilai tukar” dan nilai apa sih di dalam uang yang dipakai sebagai dasar perhitungan—selain daripada pertimbangan subyektif dan individualistis?

Seiring dengan [penggunaan] statistik yang terkait dengan angka-angka tentang produksi domestik dan nasional, indeks harga adalah angka statistik yang paling tidak andal, paling menyesatkan dan paling sering diobok-obok. Ini sering terjadi karena memang indeks tersebut menyediakan dasar untuk serangkaian indikator statistik lainnya, juga sebagai deflator dan termasuk sebagai angka pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.

Angka atau besaran makroekonomi semacam itu muncul akibat ilusi bahwa obyek utamanya—“ekonomi” atau “perekonomian”—memiliki ciri dan sifat yang dapat diamati dan diukur secara obyektif. Padahal keterampilan apapun yang diterapkan demi akurasi perhitungan angka-angka tersebut, invaliditas dasarnya tetap tidak dapat disingkirkan, karena ukuran nilai standar yang baku dan tetap tidak mungkin diperoleh.

Upaya untuk mengukur perekonomian seolah sebagai obyek berawal pada perencanaan pemerintah. Memperlakukan perekonomian sebagai satu keseluruhan menjadi keharusan bagi para perencana pusat kaum sosialis dan dalam kondisi peperangan total. Hal ini terlaksana dengan prasumsi bahwa pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan memiliki pengetahuan yang tepat mengenai cara dan tujuan dari tindakan ekonomi. Hasil dari rencana-rencana ini sudah sangat dikenal; tetapi sementara perencanaan perekonomian total tipe-sosialis itu terjadi di balik panggung, bahkan bagi banyak pengikut-sosialisme yang taat, perencanaan moneter secara sentral melalui manipulasi uang, kredit dan nilai tukar masih tergolong tinggi dalam agenda publik. Tentu, perbankan sentral dapat disebut sebagai tempat pelarian terakhir bagi mereka yang masih tersihir oleh pretensi pengetahuan.


terpedaya oleh angka (3)
(Sambungan)

Dengan memusatkan perhatian pada apa yang disebut “stabilitas harga” atau dengan mengikuti skema penargetan inflasi (yang kini sedang menjadi trend), para banker sentral tidak saja mengejar sasaran yang bergerak tetapi juga yang lebih bersifat simbolis daripada riil. Dengan cara ini mereka mengabaikan inflasi yang terjadi dalam ekspansi uang dan utang.

Para bank sentral secara teoritis memang memiliki instrumen paling tidak untuk mengontrol uang dasar; namun mereka jarang bersedia membayar harga dari sebuah kontraksi; alih-alih, mereka lebih menyukai ekspansi permanen yang ilusif. Mereka bertindak seperti penganjur pemakaian obat-obatan murah kepada publik yang lugu dengan perantaraan sektor perbankan. Hampir tidak ada bank sentral yang tidak terjangkiti penyakit semacam ini, yang memang inheren bagi sebuah sistem perbankan dengan cadangan fraksional tanpa pengaman.

Sebagaimana halnya dengan harga barang/jasa secara individual, harga kelompok barang dan jasa juga bergejolak naik-turun. Selalu ada titik inflasif atau deflasif dalam tiap perekonomian pada saat yang sama. Ketika pergerakan harga agregat kecil berlangsung, atau ketika kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan terjadi, indeks harga tidak memberi sinyal yang berarti. Tetapi bila ada kecenderungan pergerakan kuat ke salah satu arah tentang tingkat harga secara umum, dan bila hal ini akhirnya tercermin dalam indeks harga, biasanya bank sentral terlambat bertindak.

Nilai indeks harga harus berupa rerata dari semua nilai ekstrim. Indeks harga tidak mampu memberi sinyal tentang pergerakan-harga yang lebih halus dan indeks juga mengabaikan hal-hal lain yang relevan, seperti harga-harga aset. Dengan demikian, yang terpedaya bukan saja masyarakat umum, melainkan juga para bank sentral yang menjadi korban kalkulasi mereka sendiri, ibarat lelucon tentang ahli statistik yang mati tenggelam ketika menyeberangi air yang dia anggap mudah dilalui berdasarkan rata-rata aritmatik tentang kedalaman air tersebut.

Akhir-akhir ini, misalnya, nilai depresiasi dari dolar sudah terlihat dalam harga-harga minyak, real estate, logal mulia, jasa domestik, layanan kesehatan, tuition atau bahkan jika dihitung terhadap uang fiat lainnya, seperti Euro. Dalam perspektif ini, maka inflasi sedang berlangsung dan dia telah berjalan sekian lama pada tingkat yang besar. Namun bila menghitung dalam porsi besar dari kapasitas penyimpanan komputer dan peralatan yang diimpor, gambarannya berubah dan perspektif tentang kecenderungan deflasif dapat saja didiagnosis dengan tolok ukur tersebut.

Tipuan besar dari para penjaga stabilisasi terletak pada penyebaran ilusi bahwa indeks harga yang stabil atau meningkat perlahan akan mengimplikasikan stabilitas perekonomian dan tidak berakibat apa-apa pada struktur permodalan. Tindakan berupa kebijakan moneter yang dipublikasikan di bawah judul stabilisasi juga tidak mengimplikasikan loyalitas dari daya beli. Tindakan-tindakan semacam itu lebih berarti bahwa distorsi lama sudah berhasil ditutup dan distorsi baru sedang diciptakan.

Sukses sementara, seperti juga pembelanjaan defisit, membuat bank sentral lebih berbahaya. Bank sentral modern adalah usaha yang mengerikan. Dimensi sejati dari kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh kebijakan uang longgar hanya terlihat jelas dalam jangka panjang ketika inflasi mulai menjadi liar dan dengan demikian hanya bisa dihentikan dengan kontraksi deflasif.

Belum lama ini para bank sentral kembali gagal mengenali atau tetap berlaku pasif ketika berhadapan dengan banjirnya likuiditas. Membanjiri dunia dengan utang dalam bentuk uang, tidak dapat tidak, berarti menyetir sistem ke suatu jalan di mana alternatif-alternatifnya (berupa percepatan inflasi atau justru deflasi) menjadi kian mendesak. Ketika para aktor perekonomian akhirnya membentuk pengharapan yang dominan, sebuah spiral dari proses feedback pun dimulai, dan aksi selanjutnya akan diadaptasikan sesuai dengan arah tersebut. Ini adalah titik di mana permainan telah menjadi lepas dari kendali para penjaga stabilitas; dan hiperinflasi serta depresi pun mengancam.