15.1.05

potensi bencana di depan mata

Di balik solidaritas yang mencengangkan dari dalam dan luar negeri menyusul malapetaka yang melanda sekurangnya 13 negara Asia dan Afrika, ada bahaya mengintai yang sangat mungkin tengah dimulai. Yang akan menjadi korban bukan cuma para korban bencana yang berhasil selamat atau diselamatkan, melainkan juga masyarakat dunia yang telah memberi bantuannya dalam berbagai cara. Bahaya ini berpotensi menjadi bencana baru terhadap manusia dan kemanusiaannya. Sejak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami dua minggu lalu, ulasan di media mengenai hal ini belum memadai dan proporsional. Tulisan singkat ini mencoba mengantarkan pembaca ke wacana tersebut.

Moral Hazards

Masyarakat dunia termasuk rakyat Indonesia hingga detik ini layaknya berlomba berduyun menyisihkan rejeki atau menyingsing lengan baju guna membantu meringankan penderitaan para korban. Beberapa relawan bahkan kehilangan nyawa (seperti yang terjadi di Singapura). Sementara, sejumlah orang justru mengambil keuntungan pribadi atas hak para korban.

Memang, satu jenis bahaya yang mengancam adalah moral hazards dari sebagian mereka yang terlibat dalam mata rantai proses derma, dari tahap pengumpulan hingga distribusinya. Satu bentuk moral hazards di sini adalah korupsi, baik oleh petugas birokrasi pengelola bantuan di tingkat pemerintahan maupun partikelir.

Tentu, sebagian derma ini pasti akan sampai, mengingat besarnya jumlah yang terkumpul; kejahatan korupsi memang tidak bermaksud menyikat habis rejeki yang bukan hak pelakunya.

Sejauh pendekatannya masih "bagaimana nanti saja", tanpa rancangan skema intervensi yang baik, sistematis, dapat diterapkan, serta benar-benar diimplementasikan secara saksama, maka masyarakat yang sudah sangat terbatas kemampuannya, tidak akan dapat memastikan 'keamanan' distribusi. Sebagian besar dari mereka hanya akan memasrahkan hal ini kepada hati nurani pekerja dan 'petugas' yang terlibat dalam pengelolaan derma.

Di tanah-tanah yang subur akan korupsi, sulit diingkari potensi bahaya ini. Di tempat-tempat semacam itu, menyerahkan mutlak perkara kredibilitas dan transparansi kepada hati nurani penyelenggara bantuan sama saja membiarkan diri menimbun frustrasi kolektif. Emosi negatif masyarakat pada akhirnya dapat mengancam semangat kemanusiaan itu sendiri.

Dalam konteks pengumpulan dana tunai di Indonesia, inisiatif beberapa media massa tampaknya relatif lebih transparan dan menjanjikan untuk dapat dipertanggungjawab-kan. Inisiatif kemanusiaan mereka rata-rata telah disandingkan dengan mekanisme pelaporan inheren yang cukup terbuka, dengan pelaporan tertulis di media cetak dan TV tersebut.

Meskidemikian, keteladanan semacam ini perlu ditingkatkan dan pemantauannya perlu diperkuat, mengingat agregat dana masyarakat yang terkumpul sangat besar tanpa ada satu pihak penjamin atas ketersampaiannya.

Yang sesegera mungkin harus diciptakan adalah mekanisme pemantauan eksternal yang transparan dan preventif sifatnya dengan melibatkan unsur-unsur pemerintah, perbankan, pihak profesional, dan civil society.

***

Hingga kini belum ada tim atau organisasi pemerintah maupun swasta yang mengomandoi atau membentuk Tim pemantau; padahal pemantauan bantuan adalah suatu pekerjaan yang sama mulianya dengan menjadi relawan. Tindakan ini dapat diartikan sebagai bentuk pemberian bantuan itu sendiri.

Kebutuhan akan pemantauan yang andal dan dapat diakses siapa saja sangatlah mendesak untuk dipuaskan, apalagi mengingat pemerintah melalui pemimpin tertinggi kita telah memberi jaminannya (yang seharusnya tidak terbatas untuk pinjaman luar negeri saja).

Mendesaknya hal ini juga atas pertimbangan faktor manusiawi berupa pelupaan horisontal--meminjam istilah Yasraf Piliang, akibat singkatnya rentang perhatian kita pada umumnya sebelum kembali kepada rutinitas dan "banalitas sehari-hari."

Ill-Conceived Planning

Ancaman lain dapat berasal dari niat baik kemanusiaan untuk membantu tetapi berbekalkan perencanaan yang buruk (ill conceived planning), demikian menurut pionir bantuan kemanusiaan almarahum Fred Cuny, sebagaimana dikutip dalam edisi terkini The Economist. Kamp-kamp pengungsi misalnya, tulis Cuny, adalah bentuk bantuan yang mungkin memudahkan bagi para penyedia bantuan, tetapi dapat berakibat sangat buruk bagi para korban.

Tempat penampungan memisahkan para korban dari komunitas asali yang sesungguhnya paling memahami dan paling dapat memberi mereka dukungan. Belum lagi risiko tertularnya para korban oleh berbagai penyakit menular. (Keputusan Departemen Sosial Indonesia yang melarang adopsi secara gegabah anak-anak Aceh, adalah contoh kebijakan pemerintah yang baik dan patut dipuji.)

Demikian pula halnya dengan pemberian bantuan berupa makanan, yang hanya efektif dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, subsidi yang terus menerus akan merusak tatanan perekonomian masyarakat. Para nelayan, misalnya, terancam akan kehilangan usaha jika ia "keluar" terlalu lama dari pasar secara berkelamaan. Bencana ketergantungan semacam ini bukan semata teoretis, melainkan fakta empiris yang acap terjadi di wilayah krisis, seperti yang terjadi dalam kasus Micronesia (David Osterfeld, Prosperity vs. Planning, p. 146).

Kita sering diingatkan bahwa dalam kebanyakan malapetaka, koordinasi dan informasi merupakan hal yang langka. Akibatnya, duplikasi pekerjaan akan gampang terjadi. Juga, ketakutan yang berlebihan dan mengada-ada, misalnya mitos bahwa bangkai manusia adalah penyebab utama penyakit, dapat membuang waktu yang amat berharga sehingga kebutuhan 'remeh' tapi mendesak, seperti perbaikan klinik atau pembangunan jamban, menjadi tertunda. (The Economist; 'Now Spend it sensibly').

***

Satu sisi bantuan luar negeri

Pemandangan sekilas tentang bantuan luar negeri (BL) segera mengantarkan kita pada bahaya lain. Dengan sifatnya yang khas, misalnya agregat nilainya yang besar, BL memiliki sisi destruktif jika dikelola secara amatiran. Hingga kemarin, total angka sementara bagi niat (baca: pledges) keuangan dari negara-negara donor bagi negara-negara korban tsunami telah mencapai angka yang mencengangkan: US$4 miliar. Namun, sebagian besar dari niat tadi ditujukan untuk rekonstruksi jangka panjang-atau jangka menengah dalam istilah perencanaan Bappenas.

Pertanyaan dari para pederma internasional, yang seyogyanya telah belajar dari kesalahan masa lalu dalam hal pemberian BL, akan segera berubah dari "How much aid is needed? menjadi "How well is it spent?"Tersirat disini kondisionalitas yang harus dipenuhi pemerintah negara penerima bantuan.

Kecepatan dalam mengutarakan niat baik ini tidak berbanding lurus dengan dengan kecepatan dalam hal pencairan dana BL. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa BL tidak cair seketika, melainkan harus melalui gang-gang birokrasi yang sempit, gelap dan licin. Sementara keputusan final dari pemberi dana sangat mungkin akan didasari pada kejelasan dan transparansi program yang masih harus diajukan pemerintah negara korban bencana.

Dalam beberapa pertemuan termasuk dalam pertemuan puncak yang dihadiri para pemimpin ASEAN dan beberapa negara lain, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, telah memberikan beberapa pernyataan kunci.

Pertama, beliau menyerukan perlunya menjajaki negara yang dipimpinnya untuk memperoleh berbagai bentuk keringanan utang (moratorium, debt reduction, swap, dan writeoff); kedua, beliau memberi jaminan bahwa semua BL kepada bangsanaya akan disalurkan secara transparan, dan ia akan memimpin sendiri tim khusus untuk ini.

Mengenai peluang keringanan utang, beberapa anggota parlemen dan LSM di Indonesia mendorong pemerintahnya untuk segera menyambut tawaran moratorium utang dari beberapa donor (Jerman, Inggris, Italia, Perancis dan lainnya), dan tidak mengadakan utang baru. Logika ini dapat dimengerti; idealnya, pemerintah menerima hibah uang maupun barang sebanyak mungkin. MPR sejak tahun 2002 telah mengamanatkan negara ini untuk mengurangi utang secara bertahap; Badan Perencana Nasional (Bappenas) juga telah komitmen untuk menunaikan amanat ini.

Dalam hal penjaminan penggunaan BL, pernyataan politis yang normatif seorang Presiden akan terus mengawang jika tidak segera dikonkretkan dalam bentuk kebijakan teknis. Pemerintah Indonesia perlu melibatkan unsur non pemerintah. Meskipun hal ini terlihat atau dianggap sepele, pemerintah tetap tidak akan efektif melakukannya sendirian, karena pemerintah baru ini menanggung begitu banyak urusan 'sepele' lainnya.

Keringanan Utang

Paskah Suzetta, ketua Komisi XI parlemen Indonesia, dan Mulia Nasution, Dirjen Perbendaharaan di Kementerian Keuangan, dalam sebuah program TV lokal beberapa hari lalu menyatakan bahwa seharusnya semua penyaluran BL berada dalam kerangka program yang jelas dan harus melalui pemerintah pusat.

Semua pandangan tersebut tentu dilandasi niat baik tentunya: agar transparansi, keterpaduannya dan efektifitasnya terjaga. Tetapi dalam pernyataan semacam terdapat unsur fallacy (kekeliruan berpikir) ekonomis, yang meniscayakan bahwa negara tahu semua apa yang terbaik bagi rakyatnya.

Kembali terkait dengan korupsi, yang skalanya dapat menjadi sangat besar untuk urusan dana BL, masalah ini bukan satu-satunya dalam kaitannya dengan pemberian bantuan luar negeri. Ada berbagai risiko lain.

Pertama, sebagaimana dinyatakan oleh Bauer dalam bukunya the Development Frontier (1991), BL itu bukanlah suatu 'bantuan' per se melainkan transfer atau subsidi yang pada umumnya tidak ditujukan kepada para korban yang telah mengalami pemiskinan mendadak, melainkan kepada pemerintah suatu negara.

Efek Dominan

Kedua, efek dominan dari BL adalah kecenderungannya yang nyaris niscaya dalam memperbesar "ukuran" dan "cakupan" negara, dan yang berpotensi mencederai kemakmuran dan kebebasan rakyatnya (dalam konteks Indonesia, kebebasan dalam hal menentukan apa yang terbaik bagi rakyat Aceh, misalnya).

Yang lebih buruk, peningkatan kemampuan pemerintah yang mendadak ini dapat menuju kepada sentralisasi kekuatan pemerintah, karena transfer BL ini selalu ditujukan kepada pemerintah pusat. Bagi Daerah Istimewa NAD, otonomi dengan sendirinya sudah terlucuti dan ketergantungan kepada pusat hanya akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang.

Maka mengingat tingginya kemungkinan bencana di atas, apabila pemerintah negara korban bencana tidak menyikapi, merencanakan dan bertindak secara bijaksana dan bertanggungjawab, tidak mustahil para rakyatnya suatu hari akan melihat berkah bantuan yang luar biasa ini sebagai 'bencana" dahsyat terselubung yang justru kian menyengsarakan rakyatnya.