Perkenalkan anak saya semata wayang: L. Barusan berulang tahun keenam. L, demikian ia kami panggil, sekarang murid kelas 1 SD. Sesuai dengan hasil seminar dari Lembaga Demografi Indonesia (LDI) minggu lalu, L dan anak-anak sebayanya akan berusia 21 tahun pada tahun 2020 nanti. Ia akan berjuang mencari rejeki dengan lebih dari 250,5 juta penduduk Indonesia. L akan tumbuh sebagai seorang perempuan di antara sekitar 70 juta perempuan Indonesia dalam usia subur. Di tahun itu, akan ada sekitar 170,9 juta jiwa manusia dalam usia kerja.
Bonus Demografi
Menurut LDI, dekade 2020-2030 merupakan dekade istimewa yang memberi apa yang disebut sebagai bonus demografi atau demographic dividend, yaitu ketika nisbah ketergantungan orang-orang tua kepada anak-anak muda mencapai titik nadir 44 per 100. Bonus ini konon hanya akan terjadi sekali sepanjang sejarah perjalanan suatu bangsa. Dengan demikian, bonus ini menyediakan Indonesia semacam jendela peluang untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat.
Kondisi Sine Qua Non Pemanfaatan Bonus
Menurut catatan LDI pemanfaatan peluang ini dapat terjadi antara lain: 1) jika terjadi kelangsungan penurunan angka kelahiran hingga tahun 2030; 2) jika mulai sekarang jangkauan pendidikan diperluas dan kualitasnya dipertinggi; 3) jika pelatihan kerja digalakkan; 4) jika ada koordinasi yang baik antar sektor; 5) jika iklim investasi kondusif untuk membuka kesempatan kerja produktif; dan 6) jika sumber daya pemerintah yang terhindarkan karena penurunan proporsi anak dapat dialihkan untuk investasi pendidikan dan peningkatan kualitas SDM.
Kondisi Obyektif Indonesia
Mengingat kondisi Indonesia saat ini, dan sesuai dengan tanggapan salah seorang pejabat kunci dari Departemen Tenaga Kerja RI yang hadir saat itu, kondisi sine qua non di atas berada di luar kendali pemerintah Indonesia. Hingga saat ini Pemerintah masih "mencoba merumuskan arah pengembangan dan pengendalian SDM dan tenaga kerja Indonesia." Sementara, seperti dikatakan oleh pakar demografi Sri Moertiningsih, kebijakan demografi ini baru dapat dirasakan 30 tahun kemudian. "It is like watching the grass grow." Pergerakannya tidak terlihat tetapi nyata.
Pengangguran
Tingkat Pengangguran Indonesia sejak krisis 1997 terus meningkat dengan akselerasi 2 juta per tahun. Pada tahun 2005 jumlahnya sekitar 68 juta jiwa atau 10.3% dari angkatan kerja. Kebanyakan mereka berpendidikan sekolah menengah, umumnya tinggal di perkotaan, mayoritas berusia muda antara 15-29 tahun, dan sebagian besar perempuan! Anak perempuan perkotaan seperti L termasuk kelompok paling rawan. Posisi mereka dalam pasar tenaga kerja Indonesia secara rata-rata dapat disimpulkan dalam satu akronim: LIFO-last in, first out, atau yang paling akhir direkrut, tetapi paling awal akan ditendang jika terjadi gonjang-ganjing perekonomian!
Elastisitas Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi
Satu catatan penting adalah bahwa proses pemulihan ekonomi Indonesia sejak krisis hingga kini tidak mampu menyerap tenaga kerja sebanyak yang dibutuhkan. Menurut Islam dan Nazara (2000), diperlukan penyerapan 400-500 ribu pekerja untuk setiap persen pertumbuhan ekonomi jika, Indonesia ingin mengurangi tingkat pengangguran. Dengan kata lain, ekonomi harus tumbuh 3-5% di atas pertumbuhan tahun lalu agar dapat menyerap tambahan 2 juta pengangguran baru.
Bukan Asal Tumbuh
Kita ketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan perekonomian Indonesia dimotori oleh konsumsi; sementara, yang disebut sebagai pertumbuhan yang ramah tenaga kerja adalah pertumbuhan yang dapat menyerap tenaga kerja; yang dimotori oleh investasi dan ekspor, dan bukan oleh konsumsi. Pertumbuhan yang labor-friendly adalah yang padat karya, meskipun padat modal dapat juga menyumbangkan efek pengganda yang cukup besar.
Peran Pemerintah
Peran Pemerintah, menurut pakar demografi Nazara, adalah menciptakan kondisi pasar kerja dan hubungan industrial yang kondusif dalam mendukung daya saing Indonesia pada tenaga kerja murah yang produktif. Pertanyaan yang tidak sempat kita tanyakan adalah: jenis pekerjaan murah dan produktif apa sih yang dapat Pemerintah sediakan untuk penduduk Indonesia? Jawabannya, paling-paling tenaga kasar semacam kuli, TKW, TKI dan yang sejenisnya. Itupun belum bisa dipenuhi.
Yang Tersirat
(Bagian ini berisi sesuatu yang nyaris tidak terucapkan, meskipun sebenarnya cukup gamblang keniscayaannya. Bagian ini juga ingin menggarisbawahi bahwa: mau tidak mau, kita harus melepaskan konsep-konsep tertentu yang kita anut selama ini terhadap pemerintah dan perannya.)
Kesimpulan pertama: kecil sekali Pemerintah Indonesia, apalagi Kementerian Tenaga Kerja semata, dapat menggagas atau menerapkan konsep perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan bagi teman-teman seangkatan Lla, apalagi untuk dapat menyiapkan lahan kerja yang memadai untuk mereka atau untuk para penganggur Indonesia di masa depan.
Kedua: sadar atau tidak sadar, sebagian besar dari kita, termasuk para pakar atau akademisi yang berkecimpung di bidang sosial, masih terus "menggelendoti" paradigma bahwa Pemerintah adalah agen pemilik kunci jawaban terhadap persoalan-persoalan besar kita, padahal dalam banyak hal pemerintah adalah justru bagian dari persoalan hidup warganya. Sebagai contoh: ambil contoh kemacetan lalu lintas. Mengapa sebenarnya kemacetan di Jakarta dan di kota-kota besar Indonesia terjadi?
Oleh karena itu, daripada menunggu pemerintah merumuskan arah perkembangan peningkatan kualitas manusia, lebih baik kita sama-sama serukan bahayanya bergantung pada pemerintah. Sebaliknya, perlu dianjurkan agar orang-orang berlomba-lomba mengembangkan potensi diri sendiri, misalnya dengan menjadi wiraswastawan.
Ketiga: Menganggap bahwa Pemerintah akan berjuang keras memperbaiki, meningkatkan atau memperjuangkan kualitas dan sumber daya manusia, seperti misalnya meningkatkan mutu pendidikan Lla atau teman-temannya, adalah asumsi yang terlalu muluk. Mungkin ini terdengar agak keras, tetapi yang paling realistis adalah tidak menyerahkan pemecahan perkara ini kepada pemerintah.
*) Sumber utama: makalah Sri Moetiningsih Adioetomo (Demografi Indonesia) dan Suahasil Nazara (Pasar Tenaga Kerja Indonesia), dalam Seminar Prospek Perekonomian 2006, FEUI.