Tulisan singkat ini menanggapi artikel Bambang Kusumanto di harian Kompas, Selamat Tinggal Kebijakan Fiskal.
Di dua paragraf pertama Bambang dengan cerdas membandingkan fenomena keuangan domestik-internasional dengan penilaian karakter orang berdasarkan roman mukanya.
"Ibarat wajah manusia, suku bunga, nilai tukar, indeks saham gabungan adalah "air muka" ekonomi kita. Ketika datang berita menggembirakan, indeks harga saham akan naik, nilai tukar akan menguat, suku bunga akan menurun. Keadaan sebaliknya akan terjadi apabila datang berita-berita yang tidak menyenangkan."
"Reaksi pasar itu sama sekali jauh dari menunjukkan kondisi fundamental ekonomi sebenarnya. Dalam mengambil keputusan, para investor, terutama investor jangka panjang di sektor riil, melihat indikator-indikator lain yang lebih fundamental, yang sering tidak dilihat, bahkan sengaja diabaikan para ekonom pasar uang dan modal. Itu karena semakin fluktuatif pasar uang dan modal, kian besar kesempatan "profit making" dalam bisnis mereka."
Dua paragraf pertama dari Bambang Kusumanto ini menggambarkan fenomena pasar yang sebenarnya sangat dahsyat secara terlalu bersahaja. Seolah hal tersebut memang terjadi karena hukum alam, by virtue, atau "sudah dari sononya". Padahal fenomena yang telah dan akan terus merugikan sebagian besar negara berkembang ini menunjukan "gejala" atau mengindikasikan suatu "kesalahan" yang amat serius, jika tidak boleh disebut sebagai cacat besar dalam sistem keuangan intenasional. Sengaja atau tidak, sistem hedonis yang manipulatif ini terus bertahan atau dipertahankan karena cenderung menguntungkan para negara kaya dengan kurs mata uang asing yang lebih kuat. (Betul, ini sekadar klaim, karena saya tidak punya bukti saat ini; namun demikian, keyakinan saya kuat sekali.) Padahal, yang normal kita sebut "pasar" dalam dunia keuangan internasional sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah suatu konstruksi yang didominasi para pemain kuat yang umumnya berasal dari negara-negara maju; distribusinya cenderung lopsided, sehingga tidak dapat dianggap sebagai suatu distribusi yang normal. Padahal, seringkali yang kita disebut "pasar" tidak identik dengan "pasar" dalam artian ideal yang dibayangkan Adam Smith dalam An Inquiry to the Wealth of Nations. Hm, saya sudah memakai kata padahal tiga kali sejauh ini ...
Lebih lanjut, di paragraf berikutnya, Kusumanto menulis:
"Inilah sisi "evil" dari bisnis pasar uang dan modal yang kurang manusiawi, dilihat dari sektor riil yang menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang."
Penggunaan kata "evil" di sini cukup menarik untuk tidak disikapi secara otomatis. Kata ini termasuk terminologi moral yang biasanya dipakai untuk melukiskan sesuatu yang religiously sanctioned atau berasal atau mengacu kepada unsur ketuhanan. Dengan memakai istilah moral, seolah-olah "bisnis" atau "pasar" memang memiliki "karakter" demikian yang tidak dapat diapa-apakan, padahal sebenarnya, pasar adalah hasil konsensus manusia. Sebagian pebisnis atau pemain pasar dapat bersifat "evil" karena menyangkut aspek moral manusia. Dengan menyebut market atau bisnis sebagai "evil," kita tergiring untuk percaya bahwa kondisi tersebut tidak dapat diutak-atik lagi.
Evil atau tidak, karakter ini tidak seharusnya dipakai di sini tanpa menggugat keabsahannya, karena "pasar" tidak termasuk ranah ketuhanan melainkan hasil atau alat interaksi sesama manusia.
Selanjutnya, mengenai kondisi dan mekanisme fiskal negara ini, saya cenderung setuju dengan penulis bahwa jawaban sebenarnya terletak pada bagaimana para pengambil keputusan publik dapat menghayati pentingnya ketiga kondisi kebijakan fiskal di atas terhadap pertumbuhan ekonomi. Bagaimana pengambil keputusan dapat mewujudkannya dalam suatu kesatuan kebijakan fiskal yang konsisten dan efektif.
Saya juga sependapat bahwa pada saat ini kondisi pengambilan keputusan ini kurang menggembirakan. Juga benar bahwa pengambilan keputusan kebijakan fiskal saat ini terpecah di berbagai lembaga dan instansi. Saya dapat mengerti maksud penulis ketika mengatakan bahwa otoritas fiskal terbagi atas tiga jenis, yaitu pada departemen teknis sebagai penyusun dan pengguna anggaran, pada sidang-sidang komisi DPR, dan pada ratusan pemerintah daerah yang mengelola lebih dari 25 persen APBN melalui dana perimbangan.
Namun, saya sepakat untuk tidak sepakat dengan Bambang ketika ia mengatakan bahwa Depkeu atau Bappenas tidak lagi dapat disebut sebagai otoritas fiskal, melainkan tidak lebih dari juru tagih dan juru bayar keuangan negara. Sekarang kita sudah memiliki UU Keuangan Negara. Di dalam UU tersebut dan UU rencana pembangunan jangka menengah serta UU Perencanaan Negara sesungguhnya kekuasaan Departemen Keuangan menjadi semakin besar, dan kekuasaan Bappenas tidak kalah pentingnya. Dalam semua UU tersebut tersurat serta tersirat pentingnya Departemen Keuangan untuk berkoordinasi dengan Bappenas dan Bank Indonesia. Hanya saja, reformasi departemen keuangan yang belum selesai dan tuntutan yang cukup tinggi dapat membuat para pejabat kelabakan. (Beberapa ekonom, misalnya Raden Pardede, menyarankan pembentukan otoritas fiskal secara terpisah, juga otoritas moneter di luar Bank Sentral. Saya kira ide ini hanya akan membuat komplikasi persoalan.)
Menurut hemat saya, kondisi pengendalian dan pengelolaan fiskal suatu negara sudah sepatutnya berada dalam kondisi yang saling "tegang." Seperti demokrasi pada umumnya, semua unsur pembentuk harus "bersitegang" satu sama lainnya agar dapat berfungsi dengan baik. Laksana dawai biola atau gitar, tidak akan dapat tercipta musik yang baik jika dawainya tidak tegang. Dalam hal pengelolaan fiskal, salah satu isu kritis justru adalah transparensi dan keterbukaan satu otoritas fiskal untuk berinteraksi dengan otoritas fiskal lainnya. Isu kritis lain adalah bagaimana menabuh dawai tersebut agar menghasilkan nada harmoni sesuai irama yang diinginkan. Di negara dengan eksperimen desentralisasi terbesar di dunia, hal ini seharusnya dimengerti dengan bijaksana. Tahun 2005 adalah tahun pertama mekanisme perencanaan keuangan baru diterapkan seiring dengan reformasi besar di tubuh departemen keuangan dan di dalam sistem perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang Indonesia. Sebagai contoh, tahun depan perencanaan keuangan negara, sesuai cetak biru reformasi di departemen keuangan, diharapkan dapat menyiapkan anggaran untuk jangka menengah.
Pada akhirnya, masing-masing pihak otoritas fiskal ini hanya perlu "ngotot" memberikan yang terbaik secara jujur dan terbuka. Jika terjadi benturan kepentingan, tinggal ditentukan kebijakan mana yang terbaik buat orkestra kita--dan buat para pendengarnya. Jadi, alih-alih mengatakan "Selamat Tinggal Kebijakan Fiskal," kita dapat mengatakan sebaliknya, "Selamat Datang Kebijakan Fiskal Sejati."