Indonesian Ulema Council (MUI) issued 11 fatwa (religious edicts) in Indonesia in the Jakarta Post yesterday. Among the controversial ones are those fatwa treating pluralism, secularism and liberalism as "unIslamic" and haram and according thus should be banned. The council also now disallows interfaith prayers, interfaith marriages, interfaith inheritance. Welcome to the 21st parochialism!
The paper wrote: "After Indonesia's success in hosting an interfaith dialog involving 39 Asian and European countries in Bali last week, the nation would do well to address a no less pressing issue at home: promoting an intra-faith dialog, more specifically among different Muslim groups. The predominantly conservative Indonesian Ulema Council (MUI) is about to close the door on any further dialog in the search for truth if it goes ahead with issuing a fatwa (edict) that would effectively ban liberal interpretations of Islam."
Islamic scholar Azyumardi Azra was not alone in saying that this MUI's move would be counterproductive. The people at large can and will abandon them. This really is a major setback in progressive Islamic development in the country.
31.7.05
26.7.05
25.7.05
shame
You often looked at her at some nights, when she was asleep so sound so tight. You said, this is the very child innocent who managed to drive a grown up man mad and impatient. Every thing as you know always comes with a price, but as for this one oh what a price! In such nighttime a new day would creep briskly, but sleep was a drag. A hung mirror would reflect an image of someone too familiar: the face of an exhausted father who could have done better than hurting the ego of his own God-sent china. With all the foolishness you could muster you wondered what was wrong with all those years of breathing, of education, of all the travel to faraway lands, of the talking with wisest tongues, of the listening to wisest words of wisdom…Another morning would unfailingly arrive, sometimes to discover your regret and how you wished to play back time or reset it altogether. But nothing was ever the same, you just hoped the damage was a mendable one. When the sun rose and fresh air entered your bedroom with birds chirping outside, your cracked china woke up. Her angelic face, she did not care. Her wings crippled, she did not notice. Instead she would seek something in the pair of eyes looking so unsightly last night. You gave her the best of hug, or maybe you didn't. She said sorry, when you should have been the one to employ the word. Neither fully understood why adults behave the way they do.
posted by Nad | 11:59 PM | 2 comments
posted by Nad | 11:59 PM | 2 comments
17.7.05
richard oh's the rainmaker's daughter
To stumble upon this beautiful Rainmaker's Daughter was a rare delight. This is a kind of work that must get celebrated for a bevy of reasons. In the midst of a severe and protracted draught in Indonesia's literary prose landscape, the finely-written novel in English is a thirst quenching oasis. One may not recall ever reading such a beautifully written piece with uncanny observant details by this fellow Indonesian Richard Oh. Oh's The Rainmaker's Daughter makes a very arresting reading. If not for some obligation, I would have finished reading it at one go! What is it about? Well, first of all and chiefly it's about … romance, involving a young professional lawyer Hadrian and a woman who refused to tell him let alone me her name--the rainmaker's daughter. It's about the pursuit in life. It's about the relation of one's past, present and future, in fashion that would remind one of Kundera's Immortality and Roy's presentation of the God of Small Things. It's also about portrayal of almost-dynamic mundane living with Jakarta backdrop and the workings of uncanny tribal belief systems interwoven not always in harmony deep in the heart of Borneo Island. This novel can be light or serious--depending on whether one is impressed by its surface or inner layer. To me, it is a bit of both. One may, as I did, find many gems in this deceivingly simple work of art. In terms of diction, the Rainmaker's Daughter is as beautiful as it is rich.
I'd heartily classify it under the must-read and would look forward to Richard's next masterpieces.
I'd heartily classify it under the must-read and would look forward to Richard's next masterpieces.
16.7.05
sinetron dan bajaj bajuri kita
Sinetron memasuki ruang pribadi keluarga kita tanpa permisi. Tahu-tahu, dengan menjamurnya stasiun teve di negeri ini (lebih dari 14!), setiap hari penduduk negeri ini disuguhi dengan berbagai macam sinetron, yang tema-temanya dapat digeneralisasi sbb: sinetron berbumbu materialisme (voyerisme), kekerasan, mistik-gaib, sensasionalitas dan seksualitas, serta ... humor. Posting singkat ini menukil tentang bahaya tayangan teve pada umumnya; tentang sinetron, khususnya; lebih khusus lagi, yang ber-genre humor.Ya, tulisan ini tentang bahaya yang mengintai keluarga di balik sinetron humor.
Sebagian dari kita mungkin siap siaga terhadap bahaya yang mengintai di balik acara-acara yang berbau kekerasan, kriminil mistis, atau pornografis. Penayangan adegan sadis secara terus menerus-dengan dalih reportase atau bumbu "action"--akan membiasakan diri kita, secara pasif paling tidak, kepada tindakan kekerasan dan sedikit banyak akan mempengaruhi respons kita terhadap kejadian-kejadian semacam itu. Di lain pihak, acara-acara mistik menyeret anak-anak dan generasi muda Indonesia kepada alam mitis, instan, dan cenderung melupakan proses berpikir bagaimana persoalan seharusnya diselesaikan. Bahaya dalam tayangan berbau porno, khususnya bagi anak dan remaja, sesungguhnya dapat dengan mudah dikenali.
Sementara itu, tayangan-tayangan yang "ringan" dan "lucu" di teve cenderung kita anggap "aman", sehingga sering luput dari kewaspadaan kita selaku kepala/anggota keluarga, dan tanggungjawab kita manusia dewasa terhadap anak-anak atau orang-orang lain yang masih mencari atau mendefinisikan nilai-nilai kehidupan. Secara tidak langsung, posting ini hendak mengatakan bahwa humor adalah medium komunikasi yang paling hebat sekaligus paling berbahaya, karena kita cenderung siap "menelan" permukaan humor tanpa mencernanya "lapisan dalamnya."
Salah satu acara favorit di Indonesia saat ini adalah Bajaj Bajuri, dengan dua versinya, yaitu versi Salon Oneng dan versi Bajaj Baru Bajuri. Meskipun tidak sampai menunggu-nunggu tayangannya, saya sempat beberapa kali menonton acara ini hingga selesai jika kebetulan keluarga kecil saya menonton acara tersebut di malam hari.
(Gbr dari www.tabloidnova.com)
Suatu hari anak saya, 5 tahun lebih, bertanya: "Ayah, ayah senang ngga sama Bajaj Bajuri?" "Yah, cukup senang." Lalu dia bertanya lagi, "Siapa yang ayah senengin? Oneng, Ucup, Bajuri, Pok Indun, Said atau Mak?" Saya tanya balik duluan,"Kalau kamu, nak, seneng siapa?" Ia menjawab, "Oneng, Mak dan Ucup. Aku ngga seneng sama Bajuri." "Kenapa," tanya saya, "Abis dia sukanya marah-marah. Juga kasar sama semua orang, termasuk sama istrinya sendiri."
"Kamu senang sama Mak, kenapa?"
"Sebab dia lucu kalau lagi marah dan kalau lagi ngerjain orang."
"Hhm. Sama Pok Indun?"
"Seneng juga."
Begitulah, tentang Bajaj Bajuri, saya merasa ada hal yang perlu dan mendesak untuk dicermati. Salah satu alasannya: popularitas yang cukup tinggi. Sesuatu yang populer bagi khalayak biasanya berdaya besar terhadap khalayak tersebut, secara positif ataupun negatif, dalam memperbaiki ataupun untuk merusak masyarakat yang bersangkutan.
Anak saya, yang baru mau masuk SD ini, sudah mulai dapat menangkap perilaku dan kekasaran--dalam hal ini si Bajuri, yang nyaris dalam semua episode memang kasar (walaupun sisi kebaikannya juga kadang ditampilkan). Namun, dalam banyak hal si upik ternyata belum bisa dan harus perlu dibimbing dalam menangkap nuansa tabiat-manusia yang lebih subtil. Dalam hal sinetron ini, mari kita lihat figure si Mak. Di balik aktingnya yang luar biasa, kehebohan yang ditimbulkan aktor kawakan Nani Wijaya cukup banyak ditunggu-tunggu. Tapi coba bayangkan jika anda benar-benar hidup bertetangga dengan orang semacam itu. Si Mak ini adalah gambaran seorang Ibu yang culas, licik, serakah, pendengki, sombong--pendek kata: jahat. Si Mak adalah seorang ibu yang menginginkan anaknya sendiri, Oneng, untuk menceraikan suaminya, Bajuri, yang seorang sopir bajaj.
Coba tengok keluarga macam apa Pok Indun itu. Pok Indun digambarkan sebagai perempuan menikah tanpa-anak; siap berselingkuh dengan setiap pria, karena suaminya juga seorang hidung belang. Figur keluarga semacam ini dijadikan hiburan bagi masyarakat Indonesia! Atau lihat Pak RT, yang beberapa kali melakukan kecurangan-kecurangan serta tindakan yang kurang terpuji, seperti korupsi, mengintip pengantin baru, money politics, dan lain-lain.
Apakah semua tindakan mengintip orang mandi/pengantin baru, mencuri hak orang lain, berbohong sana-sini, atau mengajak orang lain yang bukan anggota keluarga ke kamar tidur kita, merupakan bentuk-bentuk perilaku terpuji atau ucu?
Hampir semua "kelucuan" dan tabiat buruk di atas benar-benar disuguhkan kepada keluarga di Indonesia dengan pemanis, tentunya, berupa "humor" yang mengundang tawa! Penyajiannya sebagai suatu bentuk "kelucuan" tersebut tanpa penjelasan atau wanti-wanti kepada penonton, khusunya penonton belia, adalah tindakan pemakluman terhadap kebejatan "kecil" yang akan memerosokkan diri ke kebejatan moral yang lebih dalam. Konsep kelucuan dalam BB terlalu bermain di wilayah instingtif primal kita--kekerasan, keculasan, eksploitasi seksual, dsb.
Karakterisasi Oneng, sebenarnya sudah sangat cerdas dan jenial, tetapi kurang digarap secara lebih intens. Figur Oneng juga merupakan magnet yang membuat BB sangat populer. Kelucuan yang ditampilkan melaluinya adalah jenis tersendiri yang perlu diperbesar porsinya.
Acara teve adalah cermin sosial dari kehidupan nyata; demikian pula sebaliknya, yang terjadi di dunia nyata dapat juga mempengaruhi acara teve. Ini adalah intisari pandangan para pakar tentang hubungan interdependensi teve dan masyarakat. Salah satu peran terpenting media adalah peran edukatif.
Media teve dapat menjadi sarana ampuh untuk mendidik masyarakat pemirsanya, khususnya di sebuah negara berkembang dengan mayoritas penduduknya yang terjajah kemiskinan serta berpendidikan rendah. Media teve sangat berpengaruh dalam hal design; maksudnya merancang atau memodifikasi perilaku ke arah yang lebih baik, lebih bermakna, lebih mulia.
Mengingat kondisi masyarakat dewasa ini di tengah-tengah keadaan transisi yang semakin sulit, menyerahkan sepenuhnya kepada diri masing-masing merupakan asumsi yang gegabah dan akan kita bayar mahal suatu hari. Menurut hemat saya, sehubungan dengan BB, jika semua "kelucuan" ini tuntutan naskah yang tidak dapat diubah lagi, setidak-tidaknya mereka yang terlibat di balik produksi acara ini menjelaskan secara tertulis atau lisan di awal atau akhir episode bahwa acara ini perlu bimbingan orang tua, atau mengandung adegan, atau karakterisasi manusia, yang kurang atau tidak terpuji. Tanpa penjelasan semacam ini, acara semacam ini bukan saja dapat memberi stigma negatif terhadap suku tertentu tetapi juga merugikan masyarakat luas.
Sebagian dari kita mungkin siap siaga terhadap bahaya yang mengintai di balik acara-acara yang berbau kekerasan, kriminil mistis, atau pornografis. Penayangan adegan sadis secara terus menerus-dengan dalih reportase atau bumbu "action"--akan membiasakan diri kita, secara pasif paling tidak, kepada tindakan kekerasan dan sedikit banyak akan mempengaruhi respons kita terhadap kejadian-kejadian semacam itu. Di lain pihak, acara-acara mistik menyeret anak-anak dan generasi muda Indonesia kepada alam mitis, instan, dan cenderung melupakan proses berpikir bagaimana persoalan seharusnya diselesaikan. Bahaya dalam tayangan berbau porno, khususnya bagi anak dan remaja, sesungguhnya dapat dengan mudah dikenali.
Sementara itu, tayangan-tayangan yang "ringan" dan "lucu" di teve cenderung kita anggap "aman", sehingga sering luput dari kewaspadaan kita selaku kepala/anggota keluarga, dan tanggungjawab kita manusia dewasa terhadap anak-anak atau orang-orang lain yang masih mencari atau mendefinisikan nilai-nilai kehidupan. Secara tidak langsung, posting ini hendak mengatakan bahwa humor adalah medium komunikasi yang paling hebat sekaligus paling berbahaya, karena kita cenderung siap "menelan" permukaan humor tanpa mencernanya "lapisan dalamnya."
Salah satu acara favorit di Indonesia saat ini adalah Bajaj Bajuri, dengan dua versinya, yaitu versi Salon Oneng dan versi Bajaj Baru Bajuri. Meskipun tidak sampai menunggu-nunggu tayangannya, saya sempat beberapa kali menonton acara ini hingga selesai jika kebetulan keluarga kecil saya menonton acara tersebut di malam hari.
(Gbr dari www.tabloidnova.com)
Suatu hari anak saya, 5 tahun lebih, bertanya: "Ayah, ayah senang ngga sama Bajaj Bajuri?" "Yah, cukup senang." Lalu dia bertanya lagi, "Siapa yang ayah senengin? Oneng, Ucup, Bajuri, Pok Indun, Said atau Mak?" Saya tanya balik duluan,"Kalau kamu, nak, seneng siapa?" Ia menjawab, "Oneng, Mak dan Ucup. Aku ngga seneng sama Bajuri." "Kenapa," tanya saya, "Abis dia sukanya marah-marah. Juga kasar sama semua orang, termasuk sama istrinya sendiri."
"Kamu senang sama Mak, kenapa?"
"Sebab dia lucu kalau lagi marah dan kalau lagi ngerjain orang."
"Hhm. Sama Pok Indun?"
"Seneng juga."
Begitulah, tentang Bajaj Bajuri, saya merasa ada hal yang perlu dan mendesak untuk dicermati. Salah satu alasannya: popularitas yang cukup tinggi. Sesuatu yang populer bagi khalayak biasanya berdaya besar terhadap khalayak tersebut, secara positif ataupun negatif, dalam memperbaiki ataupun untuk merusak masyarakat yang bersangkutan.
Anak saya, yang baru mau masuk SD ini, sudah mulai dapat menangkap perilaku dan kekasaran--dalam hal ini si Bajuri, yang nyaris dalam semua episode memang kasar (walaupun sisi kebaikannya juga kadang ditampilkan). Namun, dalam banyak hal si upik ternyata belum bisa dan harus perlu dibimbing dalam menangkap nuansa tabiat-manusia yang lebih subtil. Dalam hal sinetron ini, mari kita lihat figure si Mak. Di balik aktingnya yang luar biasa, kehebohan yang ditimbulkan aktor kawakan Nani Wijaya cukup banyak ditunggu-tunggu. Tapi coba bayangkan jika anda benar-benar hidup bertetangga dengan orang semacam itu. Si Mak ini adalah gambaran seorang Ibu yang culas, licik, serakah, pendengki, sombong--pendek kata: jahat. Si Mak adalah seorang ibu yang menginginkan anaknya sendiri, Oneng, untuk menceraikan suaminya, Bajuri, yang seorang sopir bajaj.
Coba tengok keluarga macam apa Pok Indun itu. Pok Indun digambarkan sebagai perempuan menikah tanpa-anak; siap berselingkuh dengan setiap pria, karena suaminya juga seorang hidung belang. Figur keluarga semacam ini dijadikan hiburan bagi masyarakat Indonesia! Atau lihat Pak RT, yang beberapa kali melakukan kecurangan-kecurangan serta tindakan yang kurang terpuji, seperti korupsi, mengintip pengantin baru, money politics, dan lain-lain.
Apakah semua tindakan mengintip orang mandi/pengantin baru, mencuri hak orang lain, berbohong sana-sini, atau mengajak orang lain yang bukan anggota keluarga ke kamar tidur kita, merupakan bentuk-bentuk perilaku terpuji atau ucu?
Hampir semua "kelucuan" dan tabiat buruk di atas benar-benar disuguhkan kepada keluarga di Indonesia dengan pemanis, tentunya, berupa "humor" yang mengundang tawa! Penyajiannya sebagai suatu bentuk "kelucuan" tersebut tanpa penjelasan atau wanti-wanti kepada penonton, khusunya penonton belia, adalah tindakan pemakluman terhadap kebejatan "kecil" yang akan memerosokkan diri ke kebejatan moral yang lebih dalam. Konsep kelucuan dalam BB terlalu bermain di wilayah instingtif primal kita--kekerasan, keculasan, eksploitasi seksual, dsb.
Karakterisasi Oneng, sebenarnya sudah sangat cerdas dan jenial, tetapi kurang digarap secara lebih intens. Figur Oneng juga merupakan magnet yang membuat BB sangat populer. Kelucuan yang ditampilkan melaluinya adalah jenis tersendiri yang perlu diperbesar porsinya.
Acara teve adalah cermin sosial dari kehidupan nyata; demikian pula sebaliknya, yang terjadi di dunia nyata dapat juga mempengaruhi acara teve. Ini adalah intisari pandangan para pakar tentang hubungan interdependensi teve dan masyarakat. Salah satu peran terpenting media adalah peran edukatif.
Media teve dapat menjadi sarana ampuh untuk mendidik masyarakat pemirsanya, khususnya di sebuah negara berkembang dengan mayoritas penduduknya yang terjajah kemiskinan serta berpendidikan rendah. Media teve sangat berpengaruh dalam hal design; maksudnya merancang atau memodifikasi perilaku ke arah yang lebih baik, lebih bermakna, lebih mulia.
Mengingat kondisi masyarakat dewasa ini di tengah-tengah keadaan transisi yang semakin sulit, menyerahkan sepenuhnya kepada diri masing-masing merupakan asumsi yang gegabah dan akan kita bayar mahal suatu hari. Menurut hemat saya, sehubungan dengan BB, jika semua "kelucuan" ini tuntutan naskah yang tidak dapat diubah lagi, setidak-tidaknya mereka yang terlibat di balik produksi acara ini menjelaskan secara tertulis atau lisan di awal atau akhir episode bahwa acara ini perlu bimbingan orang tua, atau mengandung adegan, atau karakterisasi manusia, yang kurang atau tidak terpuji. Tanpa penjelasan semacam ini, acara semacam ini bukan saja dapat memberi stigma negatif terhadap suku tertentu tetapi juga merugikan masyarakat luas.
confessions of an economic hit man
i found budiarto shambazy's article in kompas today too important to ignore. it's about a book written by Perkins on the network of corporatocracy. i did a little research about the book on the net this morning and come up with some links (articles and photo) from quite reputable sources, such as this and this. i wonder if anyone has read this book? they say the indonesian version has been slated for publication, but its release date is still unknown.
13.7.05
tribute to karen armstrong
here's tributes to karen armstrong for god knows why--and for her article today in the post. (photo credit: www.pbs.org)
12.7.05
simplify, simplify!
after hitting the quota hit counter last week, the free counting system reset it to point zero, i decided to uninstall it all together from my template. so, it's simpler and leaner.
in some corners of the world, blogging is dying, or so i sense--but not in my part of the world. in fact, i could not care any less. i'll just try to blog as often as i can now, now that i've finished translating a 18-chapter and 2-annex book i promised a publisher, which kept me away from blogging al this time ...
in some corners of the world, blogging is dying, or so i sense--but not in my part of the world. in fact, i could not care any less. i'll just try to blog as often as i can now, now that i've finished translating a 18-chapter and 2-annex book i promised a publisher, which kept me away from blogging al this time ...
an sms from sby
3 weeks ago i received 1 sms message. it basically says: let's fight narkoba (an indonesian short for narcotics and drugs). guess who it came from. my president! he could also have written this: let's not corrupt today. always put off until tomorrow things we shouldn't do today.
3.7.05
nothing is nothing
a good friend emailed the other day to say she had nothing to say and that was it. nothing else. so brief. then it kept me thinking about nothing--i mean about something she wrote about, which revolves around, er...yes, nothing. first, i thought about her nothing in particular, then about nothing in general. i mean the nothing in general application by anyone. obviously there is something truly intriguing about nothing. this nothing is quite something. thus: is nothing nothing? nothing is nothing? is no thing nothing? is nothing no thing? or is no thing no thing? nothing successfully got me confused. nothing confused me. to generalize, therefore, nothing confuses.
2.7.05
Subscribe to:
Posts (Atom)